Penderita autis rata-rata memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi namun
karena tak mampu bersosialisasi, seringkali kepintarannya tak terlihat.
Temple Grandin adalah kisah penderita autis yang bisa melewati masa
sulit hingga mampu jadi profesor.
Temple Grandin tahu benar bahwa dirinya berbeda, tapi ia tidak pernah
merasa kurang dari orang lain. Belum genap usia 3 tahun, Temple
didiagnosis dengan austisme, masalah perkembangan saraf kompleks yang
membuatnya tidak mampu berhubungan sosial.
Meski jatuh bangun menghadapi kondisinya, kini Temple justru berhasil menjadi seorang profesor di bidang ilmu hewan.
Temple Grandin lahir di Boston, AS, pada 3 Desember 1947 dari pasangan
Richard Grandin dan Eustacia Cutler. Tapi pada tahun 1950, sulung dari
empat bersaudara ini mengalami gejala awal autisme, ia benci disentuh,
mudah marah dan sangat pendiam.
Pada saat itu, anak-anak autis seringkali salah mendapatkan diagnosis,
sehingga banyak yang mengalami masalah pada perkembangan fisik (difabel
atau cacat), kerusakan otak atau bahkan tidak akan pernah bisa hidup
sendiri.
Seiring berjalannya waktu, gejala autis Temple pun semakin parah. Dokter
berpendapat ia mengalami kerusakan otak dan harus menerima perawatan
jangka panjang. Ayahnya bahkan ingin Temple dirawat dalam institusi
dengan menjalani perawatan gangguan perkembangan seumur hidup.
"Ayah saya adalah salah satu orang yang ingin menempatkan saya di sebuah
institusi (semacam lembaga perawatan seumur hidup untuk anak autis),"
jelas Temple Grandin, yang kini lebih dikenal sebagai profesor ilmu
hewan di Colorado State University, seperti dilansir Dailymail.
Tapi ibunya Eustacia, justu mengirim putrinya ke terapi wicara dan
menyewa pengasuh untuk menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk
bermain game dengannya.
"Ketika saya masih sangat muda, saya tidak berbicara, tidak
memperhatikan atau melakukan kontak mata sama sekali. Saya hanya akan
bersenandung sendiri dan menggiring bola pasir di tangan," kenang wanita
64 tahun ini.
Menurut Temple, memberikan banyak waktu untuk bersama lebih dini sangat
penting untuk anak autis. Hal itu dapat menghentikan sang anak mundur
pada sudut isolasi dan membuat perubahan di otaknya.
Sang ibu yang tangguh merasa yakin bahwa dengan interaksi yang cukup,
Temple dapat dilatih untuk belajar berperilaku 'normal'. Tak hanya
belajar berbicara, Temple pun diajari sopan santun.
Pada usia 5 tahun, sang ibu mengajarkan dengan sedikit memaksanya untuk
dapat menempatkan serbet di pangkuan, lalu menata sendok dan garpu
dengan benar.
Menurut Temple, anak-anak autis zaman sekarang terlalu banyak dimanja
sehingga menyebabkan sensory overload, yang dapat membawa serangan panik
berlebihan. "Jika Anda tidak menekan sedikit, maka tidak akan ada
kemajuan apapun," jelasnya.
Keluarga Grandin memiliki dana yang cukup untuk mengirim Temple ke
sekolah swasta yang memberinya perhatian lebih ketimbang sekolah negeri.
Namun meski sekolah tetap tidak menyenangkan baginya, ada satu kelas
yang benar-benar membuatnya merasa senang, yaitu kelas berkuda dan
laboratorium ilmu pengetahuan.
Saat harus berusaha mengatasi ketidakmampuan fisiknya, Temple justru
mendapatkan keuntungan sendiri. Di suatu musim panas, Temple remaja yang
tinggal di peternakan bibinya di Arizona menemukan empati manusianya
yang hilang, diimbangi dengan pemahaman yang luar biasa terhadap hewan
di peternakan bibinya.
Peternakan menjadi titik balik bagi Temple. Bukan saja ia bisa merawat
kuda bibinya, tapi ia juga mulai merasakan ikatan khusus dengan ternak,
yang membuatnya merasa lebih damai ketimbang harus berinteraksi dengan
orang lain.
Jika 'Dr Doolittle' dapat berbicara dengan hewan, maka Temple dapat berpikir seperti apa yang hewan pikirkan.
Ia menemukan bahwa sapi sama seperti dirinya, resah dengan suara dan
gerakan yang tak terduga. Namun dengan tekanan yang sesuai, sapi dapat
tenang saat dilakukan pemerahan susu atau vaksinasi.
Terpesona dengan kondisi itu, Temple membujuk bibinya agar diperbolehkan
mencoba memerah sapi. Hasilnya sangat dramatis, hal itu dapat
menenangkan saraf Temple.
Dengan berpikiran ilmiah, Temple pun menciptakan 'mesin tekan' (squeeze
machine) darurat sendiri. Dia akan menarik kabel yang diberikan tekanan
dari panel pada kedua sisinya, yang dapat menenangkan sistem sarafnya
yang terlalu aktif.
Masa SMA menjadi makin sulit baginya, tetapi ia terus bertahan dan
berhasil mendapatkan gelar sarjana psikologi dari Franklin Pierce
University di New Hampshire.
"Tinggal di sebuah kamar bersama di asrama adalah bagian tersulit.
Squeeze machine dibuang oleh teman sekamar karena dianggap berantakan,"
kenang Temple.
Di sekolah pascasarjana di Arizona State University, Temple akhirnya
menemukan suaranya, meneliti perilaku hewan dan bekerja di industri
ternak sebagai bagian dari penelitian pascasarjananya.
Dia mulai merasakan bahwa ternak dan hewan lainnya sama seperti dirinya,
mengandalkan petunjuk visual untuk menavigasi dunia mereka. "Hewan
adalah pemikir sensorik. Mereka berpikir dalam gambar, juga dalam bau
dan suara," jelas Temple.
Dengan perspektif yang unik, Temple pun mulai menulis artikel untuk majalah ternak yang terkenal.
Namun industri ternak dari Midwest pada 1970-an, bagaimanapun, bukan
tempat yang mudah bagi seorang wanita muda. Dia menghadapi seksisme
ekstrim dan bullying, bahkan pada suatu kesempatan, ia mendapatkan mobilnya tertutup testis banteng yang berdarah.
"Banyak koboi yang ingin saya pergi karena mereka mengatakan istrinya
tidak suka saya berada disana. Tapi karena saya autis, saya tidak
menangkap hal-hal sosial. Saya tidak melihat ketidaksukaan mereka
terhadap saya, saya hanya ingin bekerja. Jadi selama saya bisa
melakukannya dan saya senang," ujar Temple.
Temple mulai merancang apa yang sudah ia lihat dalam benaknya, yaitu
cara yang lebih baik menyalurkan ternak melalui tong disinfektan dan
vaksinasi tanpa membuat ternak menjadi khawatir atau takut.
Selanjutnya, dia mengalihkan perhatiannya ke rumah pemotongan hewan,
merancang sistem penyembelihan ternak yang lebih manusiawi. Luar
biasanya, kini lebih dari setengah juta ternak di AS dan Kanada
ditangani dengan fasilitas yang dirancang oleh Temple.
Ia juga bekerja sebagai konsultan bagi McDonald, perancangan dan pelaksanaan program-program kesejahteraan hewan.
Anak autis ini mampu mengubah industri peternakan Amerika, menjadi juru
bicara autisme dan mengajar mahasiswa PhD di Colorado State University.
Dr Temple Grandin juga menulis sepuluh buku, tentang hewan dan perilaku
manusia.
Kisah hidup Temple yang inspiratif bahkan pernah difilmkan oleh HBO dengan judul namanya sendiri 'Temple Grandin'.
Labels
- attitude (24)
- beautiful (7)
- DID YOU KNOW? (44)
- Inspiratif (29)
- professing faith (6)
- Video (25)
- Wisdom (32)
-
Sungguh sangat tak mungkin Allah yang begitu suci dapat menciptakan satu makhluk yang kemudian menjadi iblis jahanam. Ini sebenarnya berte...
-
ARTI KERENDAHAN HATI Dalam bahasa Yunani kerendahan hati dituliskan dengan kata "praios" ( terjemahan b.Ingris : meek ) yang m...
-
Kata “HOSANA” tentu sudah tidak asing lagi di telinga orang Kristen, tetapi banyak orang yang belum memahami makna sesungguhnya, sehingga ...
120 Juta Tahun Lalu, Burung Punya Dua Ekor
Tim paleontologi dari Chinese Academy of Sciences, di Beijing, China, mengungkapkan bahwa 120 juta tahun lalu burung memiliki dua ekor. Te...