Chang Lit-sen pernah menjadi penganut agama-agama
tersebut yang berkobar-kobar semangatnya. Dia adalah pendiri Universitas
Kiang Nan yang diharapkan menjadi pusat "gerakan kebangkitan kembali
agama-agama dan peradaban Timur"; namun dengan cara yang mengherankan,
Chang Lit-sen bertobat ketika ia berada di Jawa. Pada International
Congress on World Evangelization di Lausanne, Swiss, tahun 1974, ia
menyajikan laporannya: dia memperkirakan bahwa penganut agama Buddha di
dunia sudah melebihi 400 juta orang dan penganut Konfusianisme sebanyak
300 juta. Sejak Perang Dunia II, Chang menuturkan, telah terjadi
kebangkitan Buddhisme yang besar.[1] Jika dahulu penganut Buddhisme
adalah orang-orang tua, mereka sekarang telah "memikat hati dan pikiran
para pemuda." Mereka begitu bergairah memajukan gerakan yang dianutnya,
melalui
universitas-universitas di Asia ke universitas-universitas lain
di dunia!
Ya, Buddhisme telah mengubah sifatnya; tidak lagi
sebagai agama yang terkungkung di wihara-wihara dan kuil-kuil, tetapi
menjadi satu gerakan yang agresif dan bersemangat, yang berusaha
menanamkan kuat-kuat pengaruhnya di dunia, di mana pun mereka berada.
Jika komunis telah mengambil alih daratan Tiongkok, pusat kebangkitan
kembali Konfusianisme berada di Hongkong untuk melawan "revolusi
kebudayaan Tiongkok Merah", yang mempromosikan "renaisans kebudayaan
Tiongkok". Jika Buddhisme memberikan diagnosis yang salah untuk dilema
manusia dengan menganggap penderitaan sebagai sumbernya, kekristenan
harus menunjukkan bahwa dosa adalah akar sesungguhnya yang berbahaya.
Jika kita mendekati orang-orang Buddha dengan Injil,
kita sebaiknya ingat bahwa batu sandungan bagi orang-orang Buddha
seringkali adalah sesuatu yang sosio-kultural. Mereka menganggap gereja
sebagai satu institusi Barat dan kekristenan adalah agama Barat! Gereja
Asia pada masa kini harus menemukan jalan untuk menyesuaikan diri secara
kultural dengan orang-orang Buddha agar batu sandungan itu bisa
disingkirkan. Oleh sebab itu, akan sangat menolong jika orang-orang Asia
sendiri, khususnya orang-orang Buddha yang sudah bertobat, menjadi
pembawa Injil yang memberikan kesaksian bahwa kekristenan adalah
sungguh-sungguh agama Timur yang didirikan oleh orang-orang Timur.
Tindakan yang bijaksana ialah menjangkau seluruh keluarga. Pendekatan
pribadi ala Barat bisa mendatangkan salah pengertian dan menciptakan
persoalan besar, ketika orang-orang didorong untuk mengambil keputusan
mengikuti Kristus seorang diri tanpa menyertakan keluarga atau sanak
saudaranya.
Gereja-gereja Asia wajib meninjau kembali tantangan
kebangkitan gerakan Buddhisme, agar dengan menggunakan Injil dapat
dirumuskan strategi yang baru dan efektif, sehingga seluruh kelompok
penganut Buddha itu bisa berubah menjadi pengikut Kristus. Dalam
ceramahnya, Chang menasihati agar orang-orang yang membahas penyampaian
berita Injil menjadikan Pribadi Kristus sebagai pokok utama beritanya.
Mereka harus mengembangkan bahan-bahan bacaan dan mengalihbahasakannya,
dan gereja-gereja nasional harus menyelidiki bentuk-bentuk ungkapan
hidup beriman yang lebih asli. Orang-orang Kristen seharusnya memelihara
hubungan dengan anggota-anggota keluarga mereka yang belum bertobat dan
mengetahui bagaimana cara untuk hidup di tengah mereka, sehingga
memungkinkan mereka untuk bersaksi demi pertobatan keluarganya.[2]
Anggota-anggota kelompok diskusi mewakili negara-negara Thailand, Laos,
Vietnam, Kamboja, Tibet, Jepang, dan Sri Lanka -- negara-negara yang
rata-rata 90% penduduknya beragama Buddha.
Penganut terbesar agama Buddha dan Konfusianisme
adalah orang-orang Tionghoa. Kita diingatkan bahwa masyarakat Tionghoa
terdiri dari berbagai cabang kebudayaan, yang masing-masing memunyai
rintangannya sendiri, meskipun pintu ke daratan Tiongkok sudah terbuka.
Kenyataan bahwa daratan Tiongkok telah diindoktrinasi dan diracuni oleh
ideologi komunis secara total tidak menghilangkan akar religius-kultural
orang-orang Tionghoa yang berlatar belakang Buddhis-Konfusius.