Saya berhenti untuk membaca plakat yang tergantung
di ruang tunggu di kantor dokter: "Biarlah percakapan berlalu. Biarlah
tawa lenyap. Di tempat inilah maut dengan senang hati menolong yang
hidup."
Jelas, ini bukan dokter biasa. Saya sedang melakukan
kunjungan ke Dr. Robert J. Stein, salah satu ahli patologi forensik yang
terkenal di dunia, seorang detektif medis yang flamboyan, bersuara
parau, dan biasanya menyuguhi saya dengan kisah-kisah tentang petunjuk
yang tidak terduga, yang ditemukannya ketika memeriksa jenazah. Bagi
dia, jenazah benar-benar menceritakan kisah-kisah - kenyataannya, yang
sering kali akan membawa keadilan bagi orang yang hidup.
Stein bekerja sebagai penguji medis di Cook Country,
Illinois dan telah melakukan ribuan autopsi dengan teliti guna mencari
pengetahuan mengenai kematian korban. Matanya yang awas akan hal-hal
detail, pengetahuannya yang
luas tentang anatomi manusia, dan intuisi
penyelidikannya yang luar biasa, menolong Stein merekonstruksi kekerasan
yang menyebabkan kematian korban.
Kadang-kadang hasil penelitiannya membersihkan nama
orang-orang yang tidak bersalah dan merupakan paku terakhir di peti
terdakwa. Seperti dalam kasus John Wayne Gacy, yang berhadapan dengan
algojo, setelah Stein menolong untuk mencari bukti atas tiga puluh tiga
tindakan pembunuhan mengerikan yang dilakukan John.
Begitulah, betapa bukti medis dapat menjadi penting
sekali. Bukti-bukti tersebut dapat menentukan apakah seorang anak
meninggal karena penyiksaan atau jatuh yang tidak disengaja. Bukti-bukti
itu dapat menentukan apakah seseorang meninggal karena sebab yang alami
atau dibunuh oleh seseorang yang membubuhi kopinya dengan arsenik.
Bukti-bukti medis juga dapat menunjukkan secara tepat waktu kematian
korban -- menggunakan sebuah prosedur sederhana, contohnya mengukur
kadar potasium di mata jenazah, sehingga dapat menguatkan atau
membongkar alibi terdakwa.
Bahkan dalam kasus seseorang yang secara brutal
dihukum mati di atas salib Romawi dua ribu tahun yang lalu, bukti medis
masih bisa memberikan sebuah kontribusi yang sangat penting: dapat
menolong untuk menentukan apakah kebangkitan Yesus - pertahanan
tertinggi atas klaim diri-Nya sebagai Tuhan - tidak lebih daripada
sebuah cerita bohong yang rumit. Stein telah membuat saya terkesan akan
nilai petunjuk-petunjuk forensik. Saya tahu inilah saatnya untuk mencari
seorang ahli medis yang telah menyelidiki sepenuhnya fakta-fakta
sejarah mengenai penyaliban dan telah berhasil memisahkan kebenaran dari
legenda.
Kebangkitan atau Kesadaran dari Pingsan?
Gagasan bahwa Yesus tidak pernah sungguh-sungguh mati
di kayu salib dapat ditemukan di Al-Quran, yang ditulis pada abad ke-7
- umat Islam Ahmadiyah berpendapat bahwa Yesus sebenarnya melarikan
diri ke India. Sampai hari ini, ada sebuah tempat keramat yang diduga
menjadi kuburan Yesus yang sesungguhnya di Srinagar, Kashmir.
Ketika abad ke-19 menyingsing, Karl Bahrdt, Karl
Venturini, dan yang lainnya berusaha menjelaskan peristiwa kebangkitan,
dengan memberi kesan bahwa Yesus hanya jatuh pingsan dari kelelahan di
kayu salib, atau Dia telah diberi minuman yang membuat-Nya terlihat mati
dan kemudian Dia dibangkitkan oleh udara dingin yang lembab di dalam
kubur.
Para ahli teori konspirasi mendukung hipotesis ini,
dengan menunjukkan bahwa Yesus telah diberi minuman dengan sebatang
buluh ketika di atas salib (Markus 15:36), dan Pilatus terkejut dengan
cepatnya Yesus mati (Markus 15:44). Maka dari itu, mereka berkata,
kemunculan ulang Yesus bukanlah sebuah kebangkitan yang ajaib, namun
hanya kembali sadar secara kebetulan dan kubur-Nya kosong karena Dia
terus hidup.
Sementara para ahli terkemuka tidak mengakui teori
yang diberi sebutan teori jatuh pingsan, namun teori ini berulang kali
muncul dalam literatur populer. Pada tahun 1929, D.H. Lawrence merangkai
tema ini ke dalam cerita pendek, di mana beliau memberi kesan bahwa
Yesus melarikan diri ke Mesir dan Ia jatuh cinta dengan pendeta wanita
Isis.
Pada tahun 1965, dalam bukunya "The Passover Plot",
Hugh Schonfield mengatakan bahwa hanya tikaman pada Yesus yang tidak
terhindarkan oleh tentara Romawi saja yang menggagalkan skema rumit
untuk lolos dari salib hidup-hidup, meskipun Schonfield mengakui, "Kami
tidak membuat pengakuan di mana pun ... bahwa [buku] menuliskan apa yang
sebenarnya terjadi."
Hipotesis jatuh pingsan muncul kembali pada tahun
1972, melalui buku "The Jesus Scroll" karangan Donovan Joyce tahun 1972.
Menurut ahli kebangkitan Gray Habermas, buku ini berisi rangkaian
kemungkinan yang lebih tidak masuk akal daripada milik Schonfield. Pada
tahun 1982, "Holy Blood, Holy Grail" menambahkan corak bahwa Pontius
Pilatus telah menyuap untuk membiarkan Yesus diturunkan dari kayu salib
sebelum Dia mati. Meskipun demikian, para penulis mengakui, "Kami tidak
bisa - dan masih tidak bisa - membuktikan keakuratan kesimpulan kami."
Pada tahun 1992, Barbara Thiering -- sarjana dari
Australia, membuat kegemparan dengan membangkitkan teori jatuh pingsan.
Bukunya "Jesus and the Riddle of the Dead Sea Scroll", diperkenalkan
dengan terlalu berlebihan oleh penerbit yang terhormat di Amerika
Serikat. Tetapi teorinya kemudian ditolak dan direndahkan oleh Luke
Timothy Johnson, seorang ahli dari Emory University, karena dianggap
omong kosong belaka, hasil imajinasi yang memuncak, dan bukan merupakan
analisis yang cermat.
Hari ini, teori jatuh pingsan terus berkembang. Saya
mendengarnya sepanjang waktu. Namun, apakah buktinya sungguh-sungguh
ada? Apa yang sesungguhnya terjadi saat Penyaliban? Apa yang menjadi
penyebab kematian Yesus? Apakah ada kemungkinan Dia bisa selamat dari
siksaan ini? Itu merupakan macam-macam pertanyaan yang saya harap dapat
diselesaikan melalui bukti-bukti medis. Maka saya terbang ke California
Selatan dan mengunjungi seorang dokter ternama, yang telah mempelajari
secara mendalam data sejarah, arkeologis, dan medis mengenai kematian
Yesus dari Nazaret - walaupun tampaknya berkenaan dengan hilangnya
jenazah Yesus secara misterius, tidak pernah dilakukan autopsi
terhadap-Nya.
Wawancara dengan Alexander Metherell, M.D., Ph.D.
Tempat yang mewah terasa sangat tidak cocok dengan
topik yang sedang kami bicarakan. Di sanalah kami duduk di ruang tamu
Dr. Metherell yang nyaman, di sore hari musim semi yang menyenangkan.
Angin laut yang hangat berbisik melalui jendela, selagi kami berbicara
mengenai topik tentang kebrutalan yang tidak terbayangkan: pemukulan
yang begitu biadab, sehingga mengguncang kesadaran dan bentuk hukuman
mati yang begitu kejam, sehingga menjadi kesaksian tentang kebiadaban
manusia kepada manusia lainnya.
Saya mencari Metherell karena saya mendengar beliau
memiliki keahlian medis dan ilmiah untuk menjelaskan tentang peristiwa
penyaliban. Namun, saya juga memunyai motivasi lain: saya diberi tahu
bahwa beliau dapat membicarakan topik tersebut dengan tenang dan akurat.
Hal itu penting bagi saya karena saya ingin fakta-fakta berbicara untuk
diri mereka sendiri, tanpa hiperbola, atau bahasa yang dipaksakan yang
mungkin dapat memanipulasi emosi.
Seperti yang Anda harapkan dari seseorang dengan
gelar medis (University of Miami di Florida) dan gelar doktor dalam
bidang teknik (University of Bristol di Inggris), Metherell berbicara
dengan ketelitian ilmiah. Beliau memiliki sertifikat dalam bidang
diagnosis yang dikeluarkan oleh American Board of Radiology, dan telah
menjadi konsultan bagi National Heart, Lung, dan Blood Institute di
National Institutes of Health of Bethesda, Maryland.
Sebagai seorang mantan ilmuwan penelitian yang telah
mengajar di University of California, Metherell adalah editor untuk lima
buku ilmiah dan ia telah menulis untuk beberapa penerbit, mulai dari
"Aerospace Medicine" sampai "Scientific American". Analisisnya yang
terampil tentang kontraksi otot diterbitkan di "The Physiologist and
Biophysics Journal". Beliau juga menjadi pengawas sebuah otoritas medis
terkemuka: beliau adalah seseorang yang terhormat, dengan rambut putih
dan sikap yang sopan tetapi formal.
Kadang-kadang saya membayangkan apa yang ada di dalam
kepala Dr. Metherell. Dengan segala pengetahuan ilmiahnya, ia berbicara
dengan pelan dan runtut. Beliau juga tidak memberikan petunjuk dari
gejolak batinnya ketika beliau menjabarkan rincian yang mengerikan
tentang kematian Yesus. Apa pun yang sedang terjadi di bawah permukaan
itu, apa pun kepedihan yang dirasakannya sebagai seorang Kristen ketika
berbicara tentang nasib yang mengerikan yang menimpa Yesus, beliau mampu
menutupinya dengan profesionalisme yang lahir dari puluhan tahun
penelitian di laboratorium. Beliau hanya memberi saya fakta-fakta - dan
bagaimanapun juga hanya itulah yang saya kejar.
Penyiksaan Sebelum Salib
Awalnya, saya ingin memperoleh dari Metherell
penggambaran dasar dari peristiwa-peristiwa menuju kematian Yesus. Jadi
setelah percakapan sosial, saya meletakkan es teh saya dan mengatur cara
duduk saya sedemikian rupa, sehingga saya menghadap tepat ke arah
beliau. "Bisakah Anda memberikan gambaran tentang apa yang terjadi pada
Yesus?" tanya saya.
Dia berdehem. "Peristiwa itu dimulai setelah
Perjamuan Malam Terakhir, katanya. Yesus pergi bersama murid-murid-Nya
ke Bukit Zaitun - tepatnya ke Taman Getsemani dan di sana Dia berdoa
sepanjang malam. Selama proses itu, Yesus menantikan peristiwa yang akan
terjadi di hari berikutnya. Karena Dia tahu besarnya penderitaan yang
harus ditanggung-Nya, sudah sewajarnya Ia mengalami tekanan psikologis
yang sangat berat."
Saya mengangkat tangan saya untuk menghentikan
beliau. "Whoa - di sinilah orang-orang skeptis memiliki waktu untuk
bersenang-senang, kata saya kepadanya. Injil memberi tahu kita, Dia
mulai berkeringat darah pada saat ini. Sekarang, bukankah hal itu hanya
hasil dari beberapa imajinasi yang berlebihan? Bukankah hal itu
menimbulkan pertanyaan tentang keakuratan para penulis Injil?"
Tanpa terganggu, Metherell menggelengkan kepala.
"Tidak sama sekali, jawab beliau. Ini merupakan kondisi medis yang
disebut 'hematidrosis'. Kondisi ini tidak terlalu umum, namun kondisi
seperti ini memiliki hubungan dengan tingkat tekanan psikologis yang
tinggi. Yang terjadi adalah ketakutan hebat, yang menyebabkan
terlepasnya unsur kimiawi yang memecahkan kapiler [pembuluh darah halus,
Red.] di kelenjar keringat. Akibatnya terjadi pendarahan di kelenjar
tersebut, sehingga keringat yang keluar berwarna darah. Kita tidak
sedang berbicara tentang banyak darah; hanya jumlah yang sangat, sangat
sedikit."
Meskipun sedikit tertegur, saya terus menekan. "Apakah ini memiliki efek lain pada tubuh?"
"Kondisi ini membuat kulit menjadi sangat rapuh,
sehingga ketika Yesus dicambuk oleh tentara Romawi keesokan harinya,
kulit-Nya akan menjadi sangat, sangat sensitif." Baiklah, mari kita
mulai. Saya mempersiapkan diri akan gambaran-gambaran mengerikan yang
saya tahu akan memenuhi pikiran saya. Sebagai seorang jurnalis, saya
telah melihat banyak jenazah - korban dari kecelakaan mobil, kebakaran,
dan pembalasan sindikat kejahatan - namun, ada sesuatu yang
menimbulkan ketakutan khusus ketika mendengar tentang seseorang yang
diperlakukan secara keji dengan sengaja oleh para algojo untuk
menimbulkan penderitaan yang paling menyakitkan.
"Ceritakan kepada saya, seperti apa pencambukan itu?" Mata Metherell terus menatap saya.
"Hukuman cambuk Romawi terkenal karena kebrutalannya
yang amat sangat. Hukuman itu biasanya terdiri dari tiga puluh sembilan
cambukan, namun seringnya jauh lebih banyak daripada itu, tergantung
dari suasana hati tentara yang melakukan hukuman tersebut. Tentara itu
akan menggunakan sebuah cambuk terbuat dari tali kulit yang dikepang
dengan bola-bola logam yang diselipkan di dalam anyaman tali itu. Ketika
cambuk itu menyambar tubuh si terhukum, bola-bola ini akan menyebabkan
luka-luka memar yang dalam dan luka-luka itu akan hancur dengan
pukulan-pukulan yang selanjutnya. Pada cambuk itu juga terdapat
serpihan-serpihan tulang yang tajam, yang akan mencabik daging dengan
parah. Punggung si terhukum juga akan terparut sedemikian rupa, sehingga
bagian dari tulang belakang kadang-kadang dapat terlihat akibat luka
yang sangat dalam. Pencambukan dilakukan mulai dari bahu turun ke
punggung, pantat, dan bagian belakang kaki. Sungguh mengerikan."
Metherell berhenti. "Lanjutkan, kata saya."
"Seorang dokter yang pernah mempelajari cambukan
Romawi berkata, 'Sementara cambukan itu berlangsung, tiap cabikan yang
diakibatkan oleh cambuk itu akan mengoyak sampai ke otot rangka yang ada
di bawah kulit, sehingga menghasilkan garis-garis daging yang
berdarah.' Sejarawan abad ke-3, Eusebius menggambarkan pencambukan ini
dengan mengatakan, 'Pembuluh darah korban pencambukan akan terbuka dan
otot, urat dagingnya, serta isi perut korban dapat terlihat.' Kita tahu
banyak orang akan mati karena pukulan jenis ini, bahkan sebelum mereka
disalibkan. Sedikitnya, korban akan mengalami kesakitan yang amat hebat
dan mengalami syok 'hypovolemic'."
Metherell mengajukan sebuah istilah medis yang saya tidak pahami. "Apa artinya guncangan 'hypovolemic?'" saya bertanya.
"'Hypo' artinya rendah, 'vol' mengacu pada volume,
dan 'emic' berarti darah. Jadi, syok 'hypovolemic' artinya orang itu
sedang menderita efek dari hilangnya darah dalam jumlah yang banyak. Hal
ini menyebabkan empat hal. Pertama, jantung berdebar kencang untuk
memompa darah yang tidak ada di situ; kedua tekanan darah menurun,
menyebabkan ketidaksadaran atau pingsan; ketiga, ginjal berhenti
memproduksi urin untuk mempertahankan volume yang tersisa; dan keempat,
orang itu menjadi sangat haus karena tubuh sangat membutuhkan cairan
untuk menggantikan volume darah yang hilang."
"Apakah Anda melihat bukti ini dalam catatan Injil?"
"Ya, tentu saja," jawab beliau. Yesus sedang dalam
syok "hypovolemic" pada waktu Dia berjalan terhuyung-huyung ke tempat
hukuman mati di Kalvari, sambil memikul balok horisontal dari salib-Nya.
Akhirnya, Yesus roboh dan tentara Romawi menyuruh Simon untuk memanggul
salib-Nya. Nantinya kita membaca bahwa Yesus berkata, "Aku haus," di
titik di mana seisapan anggur asam ditawarkan kepada-Nya. Karena efek
mengerikan dari cambukan ini, tidak dipertanyakan lagi bahwa Yesus sudah
dalam kondisi serius menuju kritis, bahkan sebelum paku ditancapkan
menembus tangan dan kaki-Nya.
Penderitaan yang Sangat Menyakitkan di Salib
Sama pahitnya dengan peristiwa pencambukan itu, saya
tahu bahwa akan ada kesaksian yang lebih membuat saya mual lagi yang
akan diberikan. Hal itu karena sejarawan bersepakat bahwa Yesus selamat
dari cambukan hari itu dan naik ke kayu salib -- di mana masalah yang
sebenarnya terjadi. Zaman ini, ketika penjahat yang dihukum mati diikat
dan disuntik dengan racun, atau terkunci di kursi kayu dan disetrum
dengan gelombang listrik, situasi-situasinya sangat terkendali. Kematian
datang dengan cepat dan dapat diprediksi. Penyidik medis dengan cermat
mengesahkan meninggalnya korban. Dari dekat, para saksi memeriksa dengan
cermat segala sesuatunya dari awal hingga akhir. Namun, betapa pastinya
kematian melalui bentuk eksekusi yang kira-kira, perlahan, dan agak
tidak pasti yang disebut penyaliban ini? Sesungguhnya, kebanyakan orang
tidak yakin bagaimana salib membunuh para korbannya. Tanpa penyidik
medis yang terlatih untuk bukti resmi bahwa Yesus telah mati, mungkinkah
Dia lolos dari pengalaman brutal dan berdarah namun tetap hidup?
Saya mulai membongkar masalah ini. "Apa yang terjadi ketika Dia tiba di tempat penyaliban?" saya bertanya.
"Dia mungkin terbaring dan tangan-tangan-Nya telah
dipakukan dengan posisi terlentang di balok horisontal. Kayu lintang
pada salib disebut 'patibulum' dan di tahap ini kayunya terpisah dari
balok vertikal, yang secara permanen tertancap di tanah."
Saya kesulitan membayangkan ini; saya memerlukan rincian yang lebih. "Dipaku dengan apa?" saya bertanya. "Dipaku di mana?"
"Orang-orang Romawi menggunakan paku-paku yang
panjangnya 5 sampai 7 inci dan meruncing ke ujung yang tajam. Paku-paku
itu ditancapkan ke pergelangan," kata Metherell, menunjukkan sekitar
satu inci di bawah telapak tangan beliau.
"Tahan," saya menginterupsi. "Saya pikir paku-paku
ditembuskan ke telapak tangan-Nya. Itu yang ditunjukkan semua lukisan.
Bahkan, menjadi sebuah simbol yang melambangkan penyaliban."
"Melewati pergelangan," Metherell mengulangi. "Ini
merupakan posisi yang kuat, yang akan mengunci tangan; jika paku
ditancapkan ke telapak tangan, berat badan-Nya akan menyebabkan kulit
robek dan Dia akan jatuh dari atas salib. Jadi paku-paku menembus
pergelangan, meskipun ini dianggap bagian dari tangan dalam bahasa zaman
itu. Penting untuk memahami bahwa pakunya akan menembus tempat di mana
jalur saraf median berada. Ini merupakan saraf terbesar yang menuju ke
tangan dan saraf ini akan hancur oleh paku yang dipukulkan ke dalamnya."